Di tengah kemajuan teknologi yang menghubungkan manusia lintas benua dalam hitungan detik, muncul pula sisi gelap yang tak bisa diabaikan: kehadiran para penguntit digital atau stalker modern. Tahun 2025 menunjukkan lonjakan kasus pengintaian yang tak lagi mengandalkan bayang-bayang fisik, tapi menyelinap melalui layar, jejak digital, dan algoritma. Fenomena ini tak hanya mengganggu privasi, tapi juga membawa dampak psikologis serius bagi para korban.
Istilah “stalker” dulunya identik dengan seseorang yang mengikuti diam-diam di dunia nyata, mengintai gerak-gerik targetnya dari kejauhan. Namun kini, bentuknya jauh lebih kompleks dan tak kasatmata. Dengan kecanggihan media sosial, informasi pribadi mudah diakses: lokasi terkini, kebiasaan harian, hingga hubungan sosial seseorang bisa dengan mudah terlacak hanya dari unggahan dan komentar. Ini membuka celah besar bagi siapa saja yang ingin “mengintip” tanpa izin.
Motif dari perilaku ini beragam—rasa cinta obsesif, dendam pribadi, atau sekadar rasa ingin tahu yang tak sehat. Dalam banyak kasus, pelaku bahkan tidak merasa bersalah. Mereka menganggap tindakannya hanya sebatas “mengikuti” atau “memantau” tanpa menyadari bahwa itu merupakan pelanggaran privasi yang serius. Ini diperparah oleh budaya digital yang seringkali mengaburkan batas antara perhatian biasa dan obsesi berbahaya.
Korban stalker digital mengalami dampak nyata. Mulai dari kecemasan, paranoia, gangguan tidur, hingga depresi. Rasa diawasi terus-menerus bahkan ketika berada sendirian, menjadi momok yang sulit dihilangkan. Apalagi jika pelaku melakukan doxing, yaitu membocorkan data pribadi korban secara publik. Di titik ini, penguntitan bukan lagi sebatas gangguan, melainkan bentuk kekerasan digital yang nyata.
Hukum di berbagai negara, termasuk yang maju secara teknologi, masih beradaptasi dengan cepatnya perkembangan bentuk penguntitan ini. Beberapa negara seperti Jerman dan Korea Selatan telah memperkuat hukum anti-stalking yang mencakup penguntitan digital, namun penegakan dan deteksi tetap menjadi tantangan besar. Sering kali, bukti penguntitan digital sulit dikumpulkan atau diabaikan karena dianggap bukan ancaman langsung.
Kesadaran publik menjadi kunci pencegahan. Edukasi tentang pentingnya menjaga keamanan akun, membatasi informasi yang dibagikan secara publik, serta memahami gejala slot depo 5k qris awal seseorang menjadi korban stalker perlu digalakkan. Platform digital juga didorong untuk menciptakan sistem keamanan yang lebih tanggap—seperti pelaporan cepat, pemblokiran otomatis, dan penghapusan data sensitif secara efisien.
Fenomena stalker di era digital bukan lagi kisah film thriller atau mata-mata klasik dengan teropong dan kamera tersembunyi. Ini adalah kenyataan modern yang hadir di balik layar ponsel dan laptop, yang bisa mengintai siapa saja, kapan saja. Dunia maya memang membuka peluang besar untuk koneksi dan kreativitas, namun juga menyisakan ruang gelap yang harus dikenali dan dihadapi dengan bijak.
Memahami batasan, menghargai privasi, dan memperkuat sistem perlindungan diri adalah langkah kecil namun vital agar kita tidak menjadi korban—atau tanpa sadar, menjadi pelakunya. Dalam dunia yang transparan seperti sekarang, menjaga jarak bisa jadi bentuk tertinggi dari rasa hormat.
BACA JUGA: Diteror dan Dilecehkan Stalker Selama 10 Tahun, Perempuan Purwakarta Lapor Polisi